Selasa, 07 Juli 2009

Psikologi kepemimpinan dalam filsafat ilmu

Psikologi kepemimpinan disimpulkan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi bawahannya, sehingga bawahannya termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi dan peranan atau tugas pemimpin adalah sebagai kekuatan yang dinamik yang mendorong, mengarahkan, memotivasi dan mengkoordinasikan aktifitas kelompok yang berhubungan dengan tugas organisasi dalam menetapkan tujuan yang akan dicapai.

Menurut Bahm (tanpa tahun, h. 14) dalam mengembangkan perilaku dan sikap manusia dalam mencapai tujuan organisasi adanya lima tahap metode ilmiah yang harus dilaksanakan, yaitu identifikasi masalah, perumusan masalah, pengajuan hipotesis sebagai jawaban sementara yang siap diuji lebih lanjut, pengujian hipotesis (mental dan operasional) dan tahap terakhir adalah pemecahan masalah sebagai jawaban atas keraguan ataupun dugaan sebelumnya. Langkah-langkah akhir prosedur ilmiah adalah dengan mempublikasikan hasil penelitian, mendistribusikannya, membaca dan memahami solusi yang diajukan.

Konsep Filsafat ilmu tentang penelitian dalam hal ini psikologi tidak lepas dari bidang garapan filsafat ilmu pengetahuan yang diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu seperti: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi (Wibisono, tanpa tahun h. 11-12).

Ontologi meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran psikologi kognitif? dan kenyataan yang melekat pada pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa dan bagaimana “yang ada” (being, sein).

Epistemologi meliputi, sumber, sarana dan tatacara yang digunakan dalam mencari kebenaran tentang psikologi kognitif sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan ilmiah.

Aksiologi terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna kebenaran atau kenyataan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai bidang seperti sosial, simbolis, dan meterial (Loreng Bagus, 1996. h. 10-12).

Sesuatu baru dikatakan ilmiah apabila diusahakan dengan cara-cara kerja yang diterapkan berdasarkan syarat-syarat tertentu (Beerling, dkk, 1986; h. 5-6). Tiga macam cara pengenal pengetahuan disebut “ilmiah” seperti yang diungkapkan Beerling dkk, yaitu pertama, pengetahuan ilmiah pengetahuan yang dasar pembenaran. Tata cara kerja diarahkan untuk mencapai tingkat kepastian yang sebesar mungkin. Kedua, pengetahuan ilmiah bersifat sistematis. Susunan serta pengolahan bahan secara sistematis membantu memperoleh kepastian yang diberikan dasar yang kuat dengan mempertanyakan secara kritis dasar-dasar sistem melalui kegiatan bersifat sistematis. Ketiga, pengetahuan ilmiah bersifat intersubjektif yang masih berhubungan denga dua ciri sebelumnya. Pengetahuan ilmiah haruslah sedemikian rupa sehingga dalam setiap bagiannya dan dalam hubungan yang menyeluruh dapat ditanggapi oleh subyek-subyek lain.

Suatu penjelasan ilmiah memberi jawaban atas pertanyaan mengapa hal itu terjadi atau secara berturut-turut terjadi dan berlalu. Kita kualifikasi jawaban tersebut sebagai suatu yang ilmiah, apabila ia dipertanggungjawabkan dan dibuktikan dengan penyelidikan dan penelitian. Ilmiah yang diperoleh jawaban atas pernyataan “apa yang menjadi soal” atau garis petunjuk bagi penyelidikan, “keilmiahan” adalah pensifatan positif, yaitu jawaban yang dapat dipercaya dengan suatu dasar tertentu dan merupakan hasil cara bekerja yang sistematis, kritis dan merupakan suatu keahlian. Pendapatnya bersifat sementara dalam arti dapat diubah, di tambah, atau bahkan ditumbangkan. Penjelasan ilmiah tidak memberikan kepuasan yang terakhir atau difinitif. Ilmu empiris selalu bergerak maju menuju kebenaran ilmiah dengan syarat-syarat tertentu. Realitas itu adalah bahan dasar sebagai titik tolak penelitian ilmiah (Kwee Moij, dkk, 1972. h. 66-69).

Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sudah dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau diperoleh dengan metode ilmiah (Lorens Bagus, 1996. h. 806).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar